Kasus Setya Novanto dan Persoalan Moralitas Kita

 
Saat ini, selama kurang lebih sebulan terakhir ini, perhatian publik tertuju pada seorang politisi dari partai Golkar yaitu Setya Novanto. Politisi yang menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar itu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak dua kali dalam kasus yang sama, yakni kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012.
Sejak ditetapkannya kembali Novanto sebagai tersangka kasus pengadaan e-KTP tersebut, KPK menunjukkan keyakinannya bahwa ada keterlibatan Novanto dalam kasus korupsi yang menelan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
Setya Novanto pertama kali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Menyusul penetapan tersangka tersebut, Novanto mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 September 2017.
Dalam gugatan bernomor  97/Pid.Prap/2017/PN Jaksel itu, Novanto keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK. Lalu pada 29 September 2017, hakim tunggal Cepi Iskandar yang mengadili perkara praperadilan tersebut mengabulkan sebagian gugatan Setya Novanto dan menganggap bahwa penetapan tersangka oleh KPK terhadap Setya Novanto tidak sah.
Namun, KPK tidak berhenti di situ. Karena KPK merasa bukti yang mereka miliki sudah cukup, KPK pun menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka pada 7 November 2017. Merujuk pada Pasal 2 Ayat 3 Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016, penyidik bisa menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka walaupun status tersangka orang tersebut sebelumnya pernah dibatalkan dalam putusan praperadilan.
Kecelakaan yang Seolah Dibuat-buat
Pasca penetapan kembali Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Novanto beberapa kali tidak hadir dari pemanggilan oleh KPK. Karena ketidakhadiran tersebut, KPK akhirnya mendatangi kediaman Setya Novanto di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Rabu, 15 November 2017, tepatnya pukul 21.40 WIB.
Hal itu dilakukan setelah pada hari yang sama KPK mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk ketua DPR tersebut. Akan tetapi, yang dicari ternyata tak ada di tempat. Ada banyak spekulasi dan alasan yang menjelaskan ketiadaan Novanto ini. Tetapi yang pasti, malam itu KPK tidak bisa membawa Novanto dari kediamannya.
Oleh karena Novanto tidak ditemui di rumahnya, dan dikhawatirkan menghilang, maka KPK memasukkan nama ketua DPR itu dalam daftar pencarian orang (DPO). Lalu, pada Kamis (16/11), Novanto dikabarkan mengalami kecelakaan di Jalan Permata Berlian 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Kecelakaan tersebut terjadi sekitar pukul 19.00. Kendaraan yang ditumpangi Novanto menabrak sebuah tiang listrik di pinggir jalan tersebut. Namun, bukannya bersimpati atas kecelakaan itu, kebanyakan warganet justru merasa bahwa kecelakaan itu adalah rekayasa yang dibuat oleh Setya Novanto untuk menghindari proses hukum. Kejanggalan dalam kecelakaan itu disinyalir menjadi berkembangnya anggapan dan sangkaan itu.
Kemudian, setelah insiden kecelakaan itu, warganet ramai-ramai menyertakan tagar #SaveTiangListrik yang isinya, tentu saja, menyindir Novanto dengan kata-kata lucu yang sungguh kreatif. Bahkan, buntut dari kecelakaan itu juga memberikan ilham bagi pengembang permainan untuk membuat permainan bertajuk Tiang Listrik, yang sudah diunduh sebanyak seratus ribu pengguna di Play Store.
Hal yang kemudian mengusik saya ialah: bagaimana jika Novanto memang benar-benar mengalami kecelakaan? Bagaimana jika yang kita tuduhkan terhadapnya, bahwa kecelakaan itu direkayasa, tidaklah benar? Bagaimana jika Novanto memang merasakan sakit itu, cedera itu? Dan bagaimana jika yang ada di posisi Novanto saat ini adalah saya, adalah kita?
Menjauhi Prasangka
Suatu sikap yang perlahan tumbuh dalam diri saya setelah saya mengingat kembali isi novel To Kill a Mockingbird adalah bagaimana saya dengan sebisa mungkin berusaha untuk tidak mengedepankan prasangka terhadap siapa pun, termasuk kepada mereka yang disangka melakukan kejahatan. Saya akui, sikap seperti itu memang sulit saya terapkan.
Dan bahkan dalam kasus Setya Novanto ini, saya cenderung bersikap ambivalen: di satu sisi mengutuk Setya Novanto yang seolah selalu punya 1001 alasan untuk tidak menghadiri pemanggilan KPK, di sisi yang lain merasa iba mengingat kecelakaan—jika itu memang benar sebuah kecelakaan—yang belum lama ini menimpanya.
Saya akan sedikit berandai-andai. Katakanlah yang terjadi di Jalan Permata Berlian 1, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada sekitar pukul 19.00 itu adalah benar kecelakaan, dan, karenanya mengakibatkan seorang Setya Novanto cedera. Apakah kita, sebagai manusia—yang selama ini menuding kecelakaan itu rekayasa—siap menerima kesalahan kita itu, dan lalu mengikutinya dengan sebuah usaha untuk meminta maaf kepada yang bersangkutan?
Jika kecelakaan tersebut memang terjadi, apakah kita sebagai manusia akan merasa bahwa kelakuan kita selama ini adalah amoral? Apakah kita sendiri juga akan merasa bersalah, amat bersalah, karena menaruh prasangka buruk kepada seseorang yang baru saja tertimpa kecelakaan?
Barangkali akan ada jawaban: “Itu tidak seberapa. Dosa Novanto-lah yang terbesar. Ia korupsi, dan karenanya harus diberi sanksi, termasuk sanksi sosial.”
Tentu saya setuju dengan kalimat yang mengatakan bahwa yang korupsi harus diberi sanksi, termasuk sanksi sosial. Tetapi, apakah kita berhak memvonis Novanto bersalah, bahkan sebelum persidangan atas dirinya belum berjalan? Dengan lantang kita selalu berkata bahwa negara ini adalah negara hukum. Apakah ini yang kita maksud dengan masyarakat hukum? Masyarakat yang memvonis seorang tersangka bersalah sebelum ada putusan hukum tetap?
Ketika kita bicara bahwa negara ini adalah negara hukum, sudah sepatutnyalah kita mengetahui prinsip dasar dari penegakan hukum itu sendiri. Dalam hukum, kita semua tahu, ada sebuah asas praduga tak bersalah, presumption of innocence.
Pengertian dari asas tersebut ialah, sebagaimana dibahas di atas, bahwa seseorang tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan dirinya bersalah. Fakta bahwa Novanto telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tak nicaya menjustifikasi tindakan kita untuk mencemooh dan menyudutkan Novanto senantiasa.
Siapa pun pasti mendukung proses hukum kepada setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana. Akan tetapi, proses hukum itu sendiri tidak boleh melanggar hak-hak asasi seorang manusia.
Proses hukum, bagaimana pun, harus mencerminkan keberadaban. Jangan sampai, atas dasar benci, ada prasangka-prasangka yang menyelimuti proses hukum itu. Kita harus menghormati sesama manusia secara bermartabat, jika kita ingin diri kita tak diperlakukan secara tidak bermartabat di hadapan orang banyak ataupun tidak.

Jika terdapat kesalahan dalam penulisan silahkan dicek SumberBerita

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »