#PapaMintaSaham |
Aksi Makar, Papa Minta Saham: Medsos Pelayan Kepentingan Siapa?
Saat kasus ‘'Papa
minta saham’' mencuat jadi trending topik di tanah air, menurut catatan sekitar
150.000 netizen yang menandatangani petisi di change dot org, mereka menuntut
agar ‘'Papa'’ mundur dari Katua DPR. Tuntutan merekapun membuahkan hasil dan
akhirnya ‘’Papa’’ memang mundur dari Katua DPR. Namun, menjelang bulan
berikutnya, dengan kekuatan lobi politiknya dan akhirnya ‘’Papa’’ diterima berkoalisi
sebagai bagian dari kekuasaan, Papa berhasil kembali menduduki kursi Ketua DPR.
Saat itu tidak ada penolakan sama sekali dari awak netizen.
Mengapa perbedaan
sikap netizen ini bisa terjadi? Apa sebenarnya kepentingan publik netizen
tersebut? Apakah benar jika netizen mewakili agenda mereka secara otonom dan
independen? Siapa sebenarnya kekuatan dibalik netizen yang kerap mampu menyusun
agenda melalui sosial media?
Seperti dilansir laman
republika.co.id, mengacu pada Lim (2013) dalam ‘'Many Clicks but Little Stick:
Social Media Activism in Indonesia’' ternyata aktivitas media sosial di
Indonesia masih tertanam dalam sistem kontrol kekuasaan dan media mainstream.
Kepentingan kekuasaan dan sokongan dari media mainstream itulah yang memandu
aktivitas di sosial media.
Jadi, siapa saja yang
saat ini dekat atau mendekat dengan kekuasaan, Insya Allah aman karena mendapat
dukungan dan sokongan dari penguasa dan media mainstream. Dalam konteks ini,
polemik yang menimpa PPP dan DPD dapat diletakkan. Jadi ini sebenarnya hanya
soal antara ‘'agenda kami’' dan ‘'agenda kalian’' dan semua itu bukan tentang ‘'agenda
kita’'.
Dalam konteks ini,
berbagai aksi massa bertajuk ‘'Aksi Bela Islam’' dapat diletakkan sebagai
bentuk keseimbangan dunia real (fisik) atas dominasi dunia virtual (non fisik).
Ternyata semua ini, kita
sebenarnya sedang menyusun habitus saat memasuki suatu arena (field) untuk
berebut berbagai modal (capital) dapat berupa kekuasaan, pengaruh, wacana, aset
dan kepentingan lainnya. Perebutan tersebut akan berakhir menjadi apa yang
disebut Bourdieu sebagai doxa, seperti kepercayaan, kebenaran atau dogma tidak
tertulis.
Jika aksi-aksi
tersebut dianggap makar, menurut DR Iswandi Syahputra, Pengamat Media UIN Sunan
Kalijaga, itu sesungguhnya usaha untuk mendefinisikan, memproduksi atau
membentuk doxa. Jika tidak ada usaha untuk membangun wacana tandingan atau
upaya netralisasi, maka makar sebagai sebuah doxa akan menjadi kebenaran. Ini
menarik dikaji dalam perspektif kritis dan post-kritisisme.