Pesona Politis Ahok dan Anies pada Banjir |
Merakyat sama membohongi rakyat itu beda,
boss! Mungkin ungkapan ini sangat cocok bagi siapa saja yang mempolitisir
banjir di Jakarta. Banjir yang merupakan bencana alam yang biasa terjadi untuk
saat ini sangat kental akan politisir mengingat PILKADA DKI Putaran II ada
didepan mata. Dunia politik memiliki kemampuan melakukan modifikasi issue
terhadap apapun bencana yang terjadi di negeri ini.
Dunia politik dapat mengambil banyak hal
'yang bukan miliknya' kemudian dikemas jadi domain politik, jadilah issue itu
milik politik seutuhnya. Sebagai contoh bencana banjir yang melandai Jakarta,
cara berpakaian presiden, kisruh sepakbola, plafon bandara runtuh, dan lain
sebagainya. Maka jangan pernah heran ada joke "Hukum adalah panglima, tapi
politik merupakan rajanya".
Anies Baswedan saat meninjau banjir |
Banjir
Jakarta jadi Domain Politik
Banjir di Jakarta sejak lama telah jadi
"milik dunia politik" lokal dan nasional. Banjir Jakarta tak semata
sebuah bencana dan penderitaan bagi warga jakarta, akan tetapi banjir jakarta
juga sebuah komoditas politik. Ketika banjir dikaitkan dengan kepentingan
masyarakat, misalnya ; kebijakan penanggulangan, kesigapan aparat terkait dan
lainnya maka di situlah celah politisasi bencana dimulai. Bencana banjir pun
diolah menjadi komoditas yang sangat menguntungkan secara politis. Siapa pelaku
usahanya? Tentu saja politikus dan para kelompok pendukungnya.
Setiap kelompok politis punya cara tersendiri
bagaimana mengemas fakta, issue, fenomena tertentu menjadi suatu komoditas
politik. Kemasan komoditas tersebut ada yang "halus" dan
"kasar". Ada yang desain semenarik mungkin ada juga yang desain
seadanya. Hal itu dibuat untuk mendapatkan benefit politis sebesar-besarnya.
Setiap komoditi berikut disain punya
"pangsa pasar"nya sendiri. Setiap pangsa pasar dihuni masyarakat atau
kelompok. Merekalah konsumen utama komoditi tersebut.
Desain komoditi politis banjir Jakarta
yang halus umumnya cenderung untuk "kalangan atas" bersifat formil,
terbuka dan mencerahkan banyak pihak, baik pemilik komoditi maupun bukan. Jenis
desain ini banyak disukai kaum intelektual, masyarakat yang kritis, kelompok
diskusi, dll. Pemasarannya dilakukan di ruang publik formil seperti di media
arus utama, forum debat, diskusi, seminar, atau wawancara dengan tokoh politis
tertentu. Antara penjual komoditi dengan 'konsumen' terjalin interaksi positif
yang saling mencerahkan.
Desain yang kasar dan seadanya dibuat
untuk kalangan "bawah". Mereka adalah orang-orang yang malas berpikir
kritis, malas mengakses informsi secara komprehensif, memiliki pikiran picik,
hati yang hitam, dan ingin mengacaukan suasana kehidupan masyarakat dengan
maksud memenangkan tokoh politiknya
secara instan.
Ahok bersama aparat Pemda DKI mengunjungi upaya penanganan banjir Jakarta |
Pesona
Politis Ahok dan Anies pada Banjir
Kita lihat fenomena banjir di Jakarta.
Saat warga kepayahan dan menderita, Anies datang menyapa mereka, memberi
bantuan. Dengan harapan bisa mendapatkan simpati. Bahkan Anies tampak
basah-basahan di genangan air untuk dekat dengan warga. Di pihak lain, Ahok
juga datang dan memberi bantuan selaku pemerintah. Kalau Anies basah-basah yang
bikin simpati, Ahok justru "takut basah". Dia tidak berjalan-jalan di
genangan.
Situasi keduanya yang berbeda 180 derajat
kemudian jadi komoditi politik oleh masing-masing pihak. Ahok "takut
basah" karena berpikir habis meninjau dia harus kembali secepatnya ke
kantor untuk membuat kebijakan dengan tim kerjanya. Sementara Anies "habis
main air" bisa pulang ke rumah, mandi, ganti baju kemudian duduk-duduk
minum kopi hangat sambil tertawa terkekeh-kekeh. Who know?
Begitu juga kenyataan lain di lapangan
banjir. Soal penanganan yang belum didapatkan warga suatu wilayah tertentu
kemudian jadi komoditi politik pihak pendukung Anies. Mereka tidak mau melihat
sudah banyak wilayah lain terlayani oleh pihak pemerintah dalam hal ini
kebijakan Ahok. Di saat yang sama, pihak pendukung Ahok menggembar-gemborkan
keberhasilan penanganan banjir di banyak tempat lainnya. Jadilah ini komoditi
politis pendukung Ahok. Belum lagi soal data jumlah titik banjir yang sudah
tertangani dan masih belum tertangani.
Masing-masing pihak menjadikan ini arena
adu pesona jagoannya. Ahok meragukan kemampuan Anies menangani seperti yang
telah dia tangani. Sedangkan Anies merasa bisa membereskannya dan berharap
kepada masyarakat yang terkena banjir agar dia segera jadi gubernur untuk
menuntaskannya.
Di saat bajir terjadi, pada saat itu pula
berlangsung adu pesona politis oleh para politikus. Warga berada di pinggir
arena diposisikan sebagai penonton.
Menjadikan banjir Jakarta sebagai
komoditi politis adalah sebuah keniscayaan bagi politikus karena kondisi
bencana tersebut mampu menyedot banyak perhatian masyarakat. Pangsa pasar
jualan komoditi sangat luas dan mendapatkan iklan gratis dari beragam
media-yang pada dasarnya bermaksud memberikan berita atau informasi bencana
kepada masyarakat luas.
Posisi
Penting Masyarakat Luar Arena
Di tengah keniscayaan cara berpolitik
yang tidak kreatif, banjir menjadi issue paling lezat, gurih dan murah untuk
dijual. Tingal bagaimana setiap kelompok mengemas dan mendesainnya berdasarkan
pangsa pasar tadi. Dalam kelakuan pemain politik seperti itu, lagi-lagi publik
tak lebih jadi penonton pesona.
Situasi adu pesona itu menjadikan posisi
masyarakat penonton dan penderita banjir berada pada posisi penting. Sebagai
konsumen, masyarakat luas sejatinya harus bisa kritis. Tak serta merta
memamah-biak mentah-mentah segala suguhan komoditi politis itu. Salah satu cara
yang baik dilakukan adalah (mau) mencari informasi valid terkait banjir,
penanganan lembaga terkait dan segala kegiatan politisi yang muncul, bukannya
justru giat memasarkan produk murahan komoditi politis yang sudahlah desainnya
buruk, seadanya, yang memperburuk rasa empati yang bersifat universal kepada
warga Jakarta yang terkena banjir.
Ini Jakarta. Semua orang dijakarta sudah
mengetahui, Merakyat sama membohongi rakyat itu beda, boss!
Selengkapnya : Banjir Jakarta jadi Domain Politik