Amien Rais, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan Habib Rizieq berada dalam satu mobil komando di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat saat aksi demo Jumat (4/11/2016). |
Jika Hukum Ditegakkan, Sampai 'Lebaran
Kebo', Ahok Tak Bisa Dipenjara, Tak Bisa Mundur ataupun Dimundurkan.
Kesalah yang fatal jika menilai Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ada di ujung karier politiknya. Demo 4 November
2016 ramai dengan tagar #jumat411 di dunia maya yang memprotes keras Ahok tidak
dapat membuatnya turun dari kursi pemilihan DKI 1.
Tidak untuk mencoba membawa suku,
agama, ras, antargolongan atau SARA, namun secara aturan Hukum Ahok sulit untuk
mundur dari jabatannya, bahkan jika dia dimundurkan sekalipun. Hal ini mustahil
dilakukan. Mengapa Demikian?
Karena jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 1
tahun 2015 dan revisinya Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Sanksi berupa
denda dan pidana berlaku bagi calon perseorangan maupun yang diusung parpol
atau gabungan parpol jika mundur setelah ditetapkan KPU sebagai peserta
pilkada, yang sebelumnya tertuang di pasal 191 Undang-Undang Pilkada.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Komisi Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa "calon kepala daerah tidak
diperbolehkan mundur". Hal tersebut tertuang dalam PKPU pasal 77, yang
mana penggantian calon diperkenankan jika peserta berhalangan tetap dalam hal
ini meninggal dunia dan sakit keras dengan menunjukan bukti surat dari dokter.
Lantas bagaimana jika Ahok ditetapkan
menjadi tersangka dalam kasus penistaan agama yang mengakibatkan demo
#jumat411?
Jika kita merujuk pada PKPU pasal 88
(b), jika Ahok sekalipun menjadi tersangka, maka ancaman kurungan minimal 5
tahun dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Bukan hanya itu saja, partai politik
pun setelah menetapkan calon mereka, maka partai politik tidak bisa mengalihkan
dukungannya. Secara politik hal itu jelas merugikan koalisi PDI Perjuangan yang
mendukung Ahok, dan secara politik pula PDIP akan memperjuangkan Ahok, karena secara
hukum demo #jumat411 tidak dapat menurunkan Ahok.
Jika merujuk berazaskan hukum
tersebut, maka jelas tidak mungkin dengan mudah Ahok keluar dari jabatannya.
Meski sudah tidak menjabat sebagai Gubernur, namun Ahok adalah calon petahana
Gubernur DKI Jakarta, yang memiliki syarat mengikat.
Mundur tidaknya Ahok, selama berada
dalam jalur aturan konstitusi maka semuanya sah-sah saja. Tetapi hal ini sangat
memalukan, jika negara kalah dan menyerah dengan melanggar konstitusi yang
telah mereka buat sendiri.
Tindakan orang-orang yang berdatangan
ke Jakarta untuk melakukan aksi demo jelas tidak ada gunanya sama sekali dan
tidak jelas apa tuntutannya. Habieb Rizieq dan yang lainnya selalu menuntut
agar Presiden tidak boleh melindungi Ahok. Padahal Presiden sendiri sudah
menjawab jauh-jauh hari.
“Sebagai Presiden saya tidak akan
melakukan intervensi apapun terhadap proses hukum, kalau tidak berjalan dengan
baik baru saya turun tangan. Saya tidak melindungi Ahok, saya bertemu dengan
Ahok dalam kaitan Sebagai Presiden dan gubernur saja,” ungkap ketua umum PP
Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengutip pernyataan Presiden usai bertemu di
Istana Negara.
Mengenai tuntutan Ahok segera diproses
hukum, hal ini pun sudah diproses secara hukum. Dan 22 saksi sudah diperiksa pihak
kepolisian, termasuk Habieb Rizieq salah satunya. Padahal semua tuntutan waras
tersebut sudah sepenuhnya dijawab. Sebenarnya dalam hal ini Pihak FPI malah
memperlamba proses hukum, terutama Rizieq sendiri. Sebab meminta pengunduran
pemeriksaan. Lalu kemarin teriak-teriak seolah dia paling benar sendiri ingin
agar kasus ini dipercepat.
Di luar tuntutan yang wajar, ada juga
tuntutan yang tidak wajar. dimana mereka menuntut agar Presiden Jokowi segera
memenjarakan Ahok.
“Yang kami minta pembuktian dari presiden,
penjarakan Ahok, tangkap supaya ini menjadi pembelajaran, jangan sekali-kali
menistakan agama,” Ungkap Rizieq, usai diperiksa sebagai saksi ahli.
Pernyataan Rizieq ini terbilang cukup
unik.
Karena mereka meminta agar Presiden
tidak melakukan intervensi hukum.
Tapi kenyataanya mereka malah
menuntut Presiden menangkap dan
penjarakan Ahok.
Hal inilah yang jelas merupakan
intervensi hukum, sebagaimana sebelumnya dijelaskan Kapolri.
Sebelum Kapolri telah menegaskan Usai
apel gabungan TNI dan Polri dalam melakukan pengamanan Pilkada DKI 2017,
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan tidak ada alasan bagi pengunujuk
rasa untuk melakukan aksi di depan Istana Negara.
Masalahnya menurut Tito, Presiden Joko
Widodo telah memberikan pernyataan dengan para ulama yang diwakili Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) pada hari Selasa
(1/11/2016).
"Pak Presiden sudah sampaikan itu
kemarin, jadi sebenarnya nggak ada alasan lagi untuk ke istana, karena sudah
disampaikan oleh bapak Presiden," ungkap Tito, di Lapangan IRTI Monas,
Jakarta Pusat, Rabu (2/11/2016).
Lebih lanjut Tito menjelaskan bahwa
Jokowi tidak mungkin mengeluarkan pernyataan untuk memenjarakan Ahok karena hal
tersebut bukanlah merupakan kewenangannya sebagai pemerintah eksekutif.
yang mengeluarkan pernyataan untuk
memenjarakan Ahok, menurut Tito hanya bisa dilakukan oleh Yudikatif. Sehingga
bila Presiden memerintahkan untuk menangkap ataupun memenjarakan Ahok itu
namanya intervensi eksekutif pada Yudikatif.
Kalau begini kejadiannya, maka dalam
kasus ini sebenarnya Rizieq dan kawan-kawan ini menganut pemahaman mau menang
sendiri.
Sebab mereka meminta agar Presiden
tidak melakukan intervensi hukum.
Tapi mereka menuntut Presiden menangkap dan penjarakan Ahok.
Sebenarnya mereka cukup tahu hukum tu
tidak. Tapi justru yang dilakukan adalah
kepura -puraan untuk menggiring opini publik agar menjadi hilang kepercayaan
terhadap pemerintah. Hal ini dilakukannya semata-mata hanya demi untuk menjatuhkan
kredibilitas Presiden.
Namun hikmahnya, kita semua jadi tahu
bahwa demonstrasi ini bukan soal menuntut hukum ditegakkan, melainkan menuntut
agar Ahok ditangkap. Sehingga konsekuensinya batal ikut Pilgub 2017 nanti.
sebenarnya untuk kasus Ahok, jika
hukum memang benar ditegakkan, sampai lebaran kerbau pun Ahok tak akan masuk
penjara.
Sebab jelas bahwa produk hukum ini
terkait penistaan agama dan sekitarnya tidak mengedepankan jalur pidana.
Mengapa begitu? Sebab dasar
pembentukan Penpres no 1 tahun 1965 adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang
berlakunya kembali UUD 1945 dan penegasan Pancasila sebagai dasar negara.
Latar belakangnya karena muncul aliran
oraganisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangn dengan
ajaran dan hukum agama. Ini kalau dalam kitab suci Alquran namanya asbabun
nuzul. Tujuan dari Penpres ini adalah pencegahan penyalahgunaan dan
penyelewangan dari ajaran agama yang dianggap ajaran pokok oleh agama-agama
sesuai “kepribadian bangsa Indonesia.”
Pemberian ancaman pidana yang diatur
adalah proses lanjutan bagi mereka yang tetap mengabaikan.
Nah, dalam kasus Ahok ini, jika sesuai
hukum, alurnya adalah: Ahok (dianggap) menistakan agama. Diberi peringatan atau
teguran, bisa oleh NU atau Muhammadiyah sebagai representasi ummat Islam
Indonesia. Kemudian Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri
memberikan keputusan bersama. Kalau setelah proses tersebut Ahok masih tetap
melakukan hal yang sama, maka kemudian berlakulah ancaman pidana bagi Ahok.
Faktanya sekarang adalah, Ahok meminta
maaf didepan publik pada 10 Oktober 2016.
Sementara pendapat dan sikap keagamaan
MUI dibuat tanggal 11 Oktober. Artinya sebelum ditegur pun Ahok sudah meminta
maaf. Untuk itu posisi hukumnya menjadi jelas bahwa Ahok tidak bisa disebut
mengabaikan sehingga bisa dijerat pidana.
Kesimpulannya, jika memang ingin hukum
ditegakkan, maka harus ikut prosedur hukum yang ada. Bukan meminta pada
Presiden Jokowi untuk memenjarakan Ahok, itu namanya meminta Presiden melakukan
intervensi hukum. Jelaskan...??
Sumber:Beritateratas.com